Program sanksi ekonomi yang diberlakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara adidaya, meskipun ditujukan kepada rezim atau entitas tertentu, seringkali memiliki dampak yang tidak diinginkan dan merusak pada kehidupan rakyat biasa di Asia. Analisis mendalam menunjukkan bahwa sanksi dapat memperburuk kemiskinan dan membatasi akses ke kebutuhan dasar.
Sanksi yang menargetkan sektor perbankan atau perdagangan komoditas utama suatu negara dapat menyebabkan hiperinflasi, kekurangan obat-obatan, dan peningkatan pengangguran. Bisnis kecil dan menengah yang tidak terkait dengan rezim yang disanksi seringkali menjadi korban pertama karena terputusnya rantai pasok dan kesulitan bertransaksi internasional.
Dampak kemanusiaan seringkali yang paling menghancurkan. Pembatasan impor peralatan medis dan makanan dapat menyebabkan krisis kesehatan masyarakat, terutama di wilayah yang sudah rentan. Meskipun ada pengecualian kemanusiaan, proses birokrasi yang kompleks seringkali menghambat pengiriman bantuan vital.
Beberapa negara Asia telah mengembangkan mekanisme “ekonomi bayangan” atau perdagangan yang tidak terdeteksi untuk menghindari sanksi, namun hal ini membuka celah bagi aktivitas ilegal dan memperkuat jaringan pasar gelap. Hal ini pada akhirnya merugikan transparansi dan tata kelola yang baik.
Penting bagi PBB dan negara-negara anggota untuk terus mengevaluasi efektivitas dan dampak sanksi ekonomi terhadap penduduk sipil. Merancang sanksi yang lebih “cerdas” dan bertarget yang meminimalkan kerugian jaminan (collateral damage) pada rakyat biasa adalah keharusan etika dan strategis.

